Blogtokohpedia – Kali ini kita akan membahas biografi dari salah satu Pahlawan Nasional Indonesia, yaitu RA Kartini secara singkat.
Raden Adjeng Kartini adalah pahlawan nasional Indonesia yang lahir di Jepara, Hindia Belanda pada tanggal 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Hindia Belanda, pada tanggal 17 September 1904 pada usia yang masih sangat muda, yaitu 25 tahun.
Nama lainnya biasa disebut dengan Raden Ayu Kartini. Ia adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari tanah Jawa, dan dikenal sebagai pelopor kebangkitan wanita pribumi atau disebut dengan feminisme.
RA kartini merupakan seorang wanita yang berasal dari kelas bangsawan Jawa. Nama ayah Kartini adalah Ario Sasrodiningrat, saat itu ayahnya adalah seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera ketika Kartini lahir.
Ibunda dari Kartini adalah putri dari istri pertama sang bangsawan, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A Ngasirah, anak dari Kyai Haji Madirono dan Nyai Haji Siti Aminah.
Keduanya adalah tokoh agama di Telukawur, Jepara. Silsilah Kartini bisa ditelusuri hingga Hamengkubuwono VI. Lebih dari itu, garis kebangsawanan Bupati Sosrodiningrat dapat dilacak kembali ke para bangsawan dari istana Kerajaan Majapahit.
Baca Juga: Apa itu G30S PKI?
Sejak Pangeran Dangirin menjabat sebagai bupati di Surabaya pada abad ke-18, leluhur Sosrodiningrat menjabat banyak posisi berpengaruh di Pangreh Praja.
Ayah Kartini dulunya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan Hindia Belanda waktu itu mewajibkan seorang bupati agar beristerikan seorang bangsawan.
Ayah RA Kartini Menikah Lagi
Karena M.A. Ngasirah tidak memiliki garis bangsawan tinggi, maka ayah Kartini menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura.
Setelah pernikahan itu, maka ayah Kartini berhasil menjadi bupati di Jepara. Menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan yang bernama R.A.A Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak kelima dari sebelas bersaudara kandung dan tiri. Dari semua saudara sekandung, Kartini merupakan kakak perempuan tertua.
Kakek dari Kartini yang bernama Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat menjadi bupati ketika usia 25 tahun dan terkenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati yang memberi pendidikan khas Barat kepada anak-anaknya.
Kakak Kartini yang bernama Sosrokartono adalah seorang yang pandai dalam berbahasa. Sampai usia dua belas tahun, Kartini mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School).
Di usia dua belas tahun Kartini dipingit
Salah satu pelajaran yang dipelajari oleh Kartini adalah bahasa Belanda. Tetapi setelah usia dua belas tahun, Kartini dilarang meninggalkan rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini fasih dalam Bahasa Belanda, maka di hari-hari pingitnya, ia mulai belajar sendiri dan mengirim surat kepada teman-teman korespondensinya yang berasal dari Belanda.
Salah satu sahabatnya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari koran, buku-buku dan majalah Eropa, Kartini mulai tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa atau feminisme modern.
Timbul cita-citanya untuk memajukan pemikiran perempuan pribumi, karena menurutnya, perempuan pribumi di era Hindia Belanda berada pada status sosial yang cukup rendah.
Selain menulis, Kartini banyak membaca surat kabar terbitan Semarang yang bernama De Locomotief dan diasuh oleh Pieter Booshooft.
Dia juga menerima leestrommel (kumpulan majalah yang diedarkan toko buku kepada pelanggan langsung).
Selain itu juga ada majalah kebudayaan, ilmu pengetahuan yang tergolong cukup berat dan juga ada majalah wanita Belanda yang bernama De Hollandsche Lelie.
Tulisannya sering dimuat di majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie
Kartini pun sangat sering mengirim tulisannya dan sering dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya, tampak Kartini membaca apapun dengan penuh perhatian dan fokus, sambil merangkum apa yang dibacanya dengan membuat catatan-catatan.
Kadang kala, Kartini merujuk salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat dari bacaannya.Kepeduliannya tidak hanya terhadap masalah emansipasi perempuan, tapi juga masalah umum dan sosial.
Kartini menatap perjuangan wanita supaya bisa mendapatkan kebebasan, persamaan hukum dan otonomi sebagai salahs atu fragmen dari gerakan yang jauh lebih luas.
Baca Juga: Mari mengenal lebih dekat dengan Kapitan Pattimura
Dua contoh dari banyak buku yang dibaca Kartini sebelum mencapai umur 20, yaitu surat-surat cinta dan max havelaar yang keduanya adalah karya Multatuli. Kartini sudah membacanya dua kali pada bulan November 1901.
Ada pula buku yang berjudul De Stille Kraacht yang dalam bahasa Indonesia berarti Kekuatan Gaib yang ditulis oleh Louis Coperus. Beberapa buku bermutu tinggi karta penulis Belanda yang bernama van Eeden.
Ada juga karya Augusta de Witt yang kualitasnya biasa saja. Kisah roman-feminis yang ditulis oleh Nyonya Goekoop de-Jong van Beek dari Belanda,
Kartini juga melahap sebuah buku karya orang Jerman bergenre roman anti-perang karangan Berta Von Suttner. Judulnya dalam bahasa Jerman adalah Die Waffen Nieder atau Letakkan Senjata. Memang hampir semuanya berbahasa Belanda.
Di usia dini, RA Kartini sudah dijodohkan
Kartini dijodohkan dengan bupati Rembang oleh orangtuanya dengan seorang ningrat bernama K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Adipati Ario sendiri sudah pernah memiliki tiga orang istri.
Pernikahan Kartini dan Ario dilangsungkan pada tanggal 12 November 1903. Beruntung bagi Kartini, suaminya memahami keinginannya.
Kartini diberi dukungan dan kebebeasan untuk membangun dan mendirikan sekolah khusus wanita di bagian timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Baca Juga: Ingin mendapatkan anak laki-laki atau perempuan? Begini caranya
Kartini melahirkan anak pertama dan terakhirnya pada tanggal 13 September 1904 yang bernama Soesalit Djojodhiningrat.
Kartini menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 25 tahun
Empat hari kemudian atau lebih tepatnya pada tanggal 17 September 1904, Kartini menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 25 tahun.
Jenazah sang pelopor emansipasi wanita itu dimakamkan di Desa Bulu di Kota Rembang. Demikian biografi singkat tentang RA Kartini.
Berkat kegigihan Kartini yang selalu berpikiran maju mengenai emansipasi wanita, kemudian didirikanlah sekolah wanita oleh Yayasan Kartini di Kota semarang pada tahun 1912 dengan nama Sekolah Kartini.
Kemudian diikuti oleh kota-kota berikutnya yaitu di Surabaya, Malang, Madiun, dan kota lainnya. Yayasan Kartini sendiri dibentuk oleh seorang Belanda bernama van Deventer yang merupakan tokoh politik etis.
Sebagai Bangsa Indonesia, tidak ada salahnya untuk mengenal lebih jauh dengan tokoh Pahlawan Nasional kita sendiri, dengan membaca sedikit dari Biografi RA Kartini ini, semoga kita tetap terus meneruskan perjuangannya ya!